Kalimat dalam judul tersebut tidak asing terdengar di telinga kita. Ini adalah falsafah jawa yang memuat nilai-nilai luhur. Jika dialihbahasakan kedalam bahasa Indonesia, kalimat tersebut menjadi "Makan atau tidak makan yang penting tetap bersama". Ada dua hal dalam kalimat tersebut yaitu "makan" dan "kebersamaan". Makan adalah hal yang berupa materi, sedangkan kebersamaan adalah hal non-materi.
Falsafah tersebut mengajarkan kepada manusia, bahwa hal-hal yang bersifat non-materi itu lebih diutamakan, baru kemudian hal-hal materi. Beberapa contoh kasus yang barangkali bisa menjadi sebuah penjelas adalah sebagai berikut.
1. Membangun Usaha Ekonomi
Ketika seseorang hendak membangun sebuah usaha, maka diperlukan modal berupa dana. Dana inilah yang akan diputar untuk kemudian menghasilkan keuntungan dalam usaha. Namun demikian, dalam membangun usaha ini juga diperlukan modal yang bersifat non-materi, misalnya: dukungan keluarga, dukungan suami/isteri, dukungan kolega, kepercayaan publik, doa orangtua, dan lain-lain. Tanpa ada hal tersebut, maka kegiatan ekonomi yang akan di jalankan mungkin tidak akan berlangsung lama. Mengapa demikian? Dukungan ibarat seorang kernet bagi sopir. Dia yang menjadi teman cerita kala mengemudikan kendaraan, menjadi teman saat mengganti ban yang bocor, menjadi penghibur dan pengusir ngantuk dalam perjalanan dengan canda dan ceritanya. Dan lain sebagainya.
2. Membangun Kehidupan Berumah Tangga (Menikah)
Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, maka diperlukan dua hal sebagaimana membangun usaha tadi, yaitu dana dan dukungan moril. Jika seseorang hanya mengandalkan dana, maka sangat dimungkinkan orang tersebut tidak akan istiqomah dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Tetapi jika dukungan moril sangat baik, maka dengan dana yang terbatas pun pernikahan dapat dilangsungkan.
Telah menjadi pengetahuan bersama, bahwa pernikahan akan membawa dua orang menjalankan bahtera rumah tangga. Bahtera ini akan menghadapi pahit dan manis kehidupan. Pada saat menjalani kemudahan dalam hidup, maka biasanya biduk keluarga dapat berlayar dengan tenang. Namun apalah daya, badai dan gelombang merupakan suatu keniscayaan yang bakal menghadang. Pada saat-saat seperti itu, keluarga inti adalah garda terdepan yang akan menguatkannya. Mau mengandalkan uang? teman? sahabat? kolega?, ah, mereka hanyalah manusia biasa yang mempunyai batas kelapangan hati. Tetapi keluarga inti adalah yang akan senantiasa menerima kita bagaimanapun keadaan yang ada pada kita. Mereka yang akan merangkul, menguatkan, membukakan pintu rumahnya lebar-lebar untuk kita.
Maka kurang pas ketika seseorang merasa mampu menikah, kemudian melaksanakannya dengan tidak mematuhi orangtua, menentang orangtua, bahkan menyakiti keduanya. Padahal ridho orangtua merupakan manifestasi dari ridhonya Sang Maha Pencipta. Maka ketika rumah tangga menghadapi tantangan, kemana kita mencari sandaran dan dukungan? tentu pada keluarga inti, karena sejauh manapun orang pergi, dia akan 'mulih', pulang ke rumah, bertemu keluarga.
Contoh-contoh tersebut merupakan pemaknaan dari nilai-nilai luhur judul tulisan ini. Hal-hal yang bersifat non-materi seharusnya dibentuk terlebih dahulu dengan baik baru kemudian menyusul hal-hal yang bersifat materi. "Kumpul sik, lagi mangan bareng-bareng, rak yo ngono?". Maka dalam Islam, niat di dalam hati menempati urutan pertama dalam setiap amal perbuatan. Jika niatnya tidak benar, maka nilai perbuatan tersebut menjadi rusak. Niat adalah hal non-materi, perbuatan adalah hal materi yang dapat dilihat dan disaksikan dengan panca indera. Bisnis adalah hal materi, sedangkan dukungan moril adalah hal-hal non materi yang dapat menguatkan pelaku bisnis dalam menghadapi tantangan usaha. Menikah sangat memerlukan dukungan moril untuk menjalani tantangan rumah tangga yang senantiasa menyapa dalam kehidupan.
Kesimpulan, tidak semua hal harus disandarkan pada ketersediaan uang dan properti. Materi memang penting, tetapi non-materi harus didahulukan. Keberlimpahan materi tanpa disertai dengan keberlimpahan psikologi, tentu membuat orang tidak dapat menikmati hidup. Maka penulis mengajak, mari hidup dengan seimbang. Bagaimana pun kondisi kita saat ini, bangunlah perasaan yang hangat, nyaman, tenteram dalam keluarga, kepada ibu, bapak, adik, kakak, dan keluarga inti lainnya. Maka ketika kita menghadapi situasi apa pun di luar sana, lalu kita kembali ke rumah, persaan nyamanlah yang kita rasakan. Hingga pada akhirnya kita semua pulang dalam hakikat yang sebenarnya, kemudian Rabb kita memanggil "wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepadaKu dengan hati yang puas dan Kuridhoi, maka masuklah kalian kedalam kelompok hamba-hambaKu yang berbahagia, dan masuklah kalian ke Syurga-Ku".
selesai
Penulis:
Agus Tri Yuniawan, S.Pd.I.
Guru SLB Bhakti Pertiwi
0 coment�rios :
Posting Komentar