Oleh: Agus Tri Yuniawan
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahaesa,
Allah SWT, atas limpahan kasih sayangNya kepada kita semua. Sholawat dan salam
tercurah kepada Rasulullah SAW.
Sebelum masuk pada inti pembahasan, mari kita ingat kembali
tentang definisi karakter yaitu ‘himpunan pengalaman, pendidikan dan lain-lain
yang menumbuhkembangkan kemampuan di dalam diri kita, sebagai alat ukir sisi
paling dalam hati manusia yang mewujudkan baik pemikiran, sikap dan perilaku
termasuk akhlak mulia dan budi pekerti.’ (M. Quraish Shihab)
Berbicara tentang karakter, mungkin sebagian melihat bahwa karakter manusia di negeri ini masih perlu diperbaiki, terbukti dengan masih banyaknya berita kriminal yang tersiar di media. Kasus kriminal yang menimpa remaja, orang dewasa, orang lanjut usia bahkan anak-anak belia. Namun bisa juga sebagian melihat karakter bangsa Indonesia telah patut diberi acungan jempol, dilihat dari banyaknya kegiatan-kegiatan sosial, gerakan perubahan, revolusi mental, anak-anak penghafal Al Quran, dll. Ya, tergantung dari perspektif mana kita memandang dan pada bagian mana atensi kita banyak tercurah. Jika atensi kita, perhatian kita, banyak pada hal-hal negative, tentu akan digeneralisir bahwa semua orang jelek. Dan jika atensi, perhatian kita banyak pada hal-hal yang baik, pastilah dunia terasa indah. H. Soemarno Soedarsono dalam buku ‘Membangun Kembali Jati Diri Bangsa’ menuliskan “Sebetulnya, banyak orang Indonesia yang masih baik, tetapi yang baik tertutup oleh sosok orang-orang yang menampilkan perilaku tidak terpuji”.
Karakter dimulai secara bottom up, artinya karakter
ditanamkan dari tingkat yang paling dasar, yaitu keluarga dan sekolah. Keluarga
menanamkan karakter dasar kepada diri anak, dan anak meng-copy paste nilai-nilai
dari kedua orangtuanya. Sebagaimana kita tahu dari ilmu jiwa, bahwa anak pada
periode usia awal lahir sampai usia enam tahun memiliki kesadaran yang rendah
akan dirinya, sehingga anak akan meniru nilai-nilai atau perilaku dari
orang-orang terdekatnya. Dan ini adalah fitrah manusia, sebagaimana telah
disabdakan Nabi “Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam
keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai
Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah
kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?” Sehingga benar adanya jika
penanaman karakter dimulai sejak anak lahir sampai 6 tahun, dan untuk
menguatkannya, setelah itu yakni usia 7-10 tahun anak perlu diberikan masukan, arahan,
perintah, sebagai contoh adalah dalam hal ibadah. Sebagaimana disabdakan “Perintahkan
anak kalian untuk melakukan shalat jika mereka sudah menginjak usia tujuh tahun
dan apabila telah berusia sepuluh tahun, pukullah ia jika sampai
mengabaikannya.” Itulah pendidikan karekter yang dimulai dari tingkat yang paling dasar.
Setelah lingkungan keluarga, sekolah juga sebagai dasar
pembentuk karakter anak, dimana anak memang dipersiapkan sebagai penerus perjuangan bangsa. Pendidikan
karakter di lingkungan sekolah telah diamanatkan dalam UU No.20 tahun 2003
khususnya pasal 3 dan 4 yakni:
“Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang 1. beriman dan 2. bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, 3. berakhlak mulia, 4. sehat, 5. berilmu, 6. cakap, 7. kreatif 8. mandiri dan 9. menjadi warga negara yang demokratis, dan 10. bertanggungjawab.
Pendidikan tersebut diselenggarakan sebagai proses pemberdayaan, pembudayaan dan keteladanan.
Jika disimak, delapan dari sepuluh item dalam undang-undang tersebut menyangkut masalah karakter, sedangkan yang 2 dan lainnya yaitu nomor 5 dan 6 tidak berkaitan langsung tetapi tetap tidak dapat dipisahkan. Sehingga 88% tujuan pendidikan nasional adalah membangun karakter. (Amir Faisal dan Zulfanah, 2012).
Sampai disini peran guru sangatlah penting dalam menanamkan
karakter pada anak, dan yang lebih dasar adalah membantu mengantarkan anak
menemukan jati dirinya. Oleh sebab itulah pemerintah dengan upaya terbaiknya
selalu melakukan usaha-usaha menuju kearah itu, melalui pembaruan kurikulum,
pelatihan-pelatihan dan peningkatan kualifikasi pendidikan, dll. Harapannya adalah
guru menjadi agen keteladanan yang memiliki karakter yang kuat dan menguatkan. Karakter
yang kuat akan membuahkan pemikiran, sikap dan perilaku yang baik. Sehingga secara
bottom up, hal tersebut akhirnya membentuk jati diri bangsa dan
menghadirkan cara pandang bangsa Indonesia akan dirinya yang berrelasi dengan
Negara Kesatuan Indonesia dalam suatu konsep bernama wawasan kebangsaan.
Alhamdulillah.
Penulis: Agus Tri Yuniawan, S.Pd.I. Guru di SLB Bhakti
Pertiwi Prambanan Sleman, Alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah
(STAIM) Klaten
Referensi:
Amir Faisal dan Zulfanah. Pendidikan Karakter 88 Persen. Solo:
Duta Publishing, 2012
Soemarno Soedarsono. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo, 2008
Sumber Gambar:
http://www.toysnplaythings.co.uk/images/Jan_News_Images/character_building_logo.jpg
0 coment�rios :
Posting Komentar