Alhamdulillahirobbil’alamin,
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa, Allah SWT, yang
telah melimpahkan karunia dan kasih sayang-Nya kepada kita semua. Sholawat serta
salam tetap tercurah kepada Rasulullah SAW.
Waktu di komputer menunjukkan pukul 12:01 WIB. Saat tulisan ini dibuat,
barangkali diluar sedang ramai terjadi perayaan pergantian tahun. Suatu momen
klik, pergantian jarum jam dari 2015 ke 2016. Peniupan terompet ramai dan
penyalaan kembang api begitu bergelora, para tukang parkir sibuk menata
kendaraan di keramaian malam. Orang berbodong-bondong memenuhi jalan, hiruk
pikuknya ramai seolah malam menjadi siang. Apakah itu salah? Oh tentu tidak,
karena bisa jadi dari situlah penjual terompet mendapatkan rejeki lebih, tukang
parkir mendapatkan rejeki lebih untuk membeli beras untuk keluarganya, dan
pedagang kaki lima mendapatkan uang lebih untuk memberi makan keluarganya. Namun
bukan itu yang menjadi perhatian penulis.
Penulis tertarik membuat artikel ini karena kerap kali banyak
teman yang menetapkan resolusi-resolusi yang dicetuskan pada momen tahun baru
ini. Tentunya semua resolusi tersebut adalah hal-hal yang baik. Namun yang
menarik adalah, teman-teman yang menetapkan resolusi pada tanggal 1 Januari
tersebut seringkali lupa akan resolusi-resolusi mereka pada hari-hari
selanjutnya. "Saya ingin membuat ini, membuat itu, saya ingin jujur, saya ingin
berubah lebih baik, saya ingin rajin, saya ingin kurus, ingin langsing, hehe...". Namun yang terjadi pada hari-hari berikutnya adalah
teman-teman kembali ke pola kebiasaan yang lama. Yaah… kemana perginya resolusi
yang mulia itu…? Penulis kadang suka iseng membaca buku-buku termasuk psikologi. Fenomena
lupa akan resolusi yang telah dicetuskan sendiri ini disebabkan karena pola
kebiasaan lama telah tertanam dalam perilaku. Sudah dianggap menjadi identitas
diri masing-masing. Sehingga kekuatan mental akan resolusi tersebut tidak
langgeng. Ketidaklanggengan ini bisa disebabkan karena saat mencetuskan
resolusi tidak tulus dari dalam diri, tetapi karena terpengaruh oleh stimulus
dari luar. Terpengaruh oleh figur-figur tertentu yang dianggap baik, sehingga
dirinya juga harus baik seperti figur tersebut. Dan sebagainya dan sebagainya
yang intinya adalah stimulus dari luar. Jika figur sudah mulai berubah, atau
individu melemah perhatiannya, maka semakin pudar pula cahaya resolusi
tersebut.
Lalu, apa yang bisa menjaga agar resolusi tersebut tetap
langgeng? Ya tentunya teman-teman perlu memiliki identitas diri yang kuat. Barangkali
identitas diri ini dalam bahasa yang umum disebut ‘Jati Diri’. Sebuah jati diri
yang hanya dicopy dari figur-figur tertentu, seringkali mudah luntur,
terkecuali jati diri tersebut diaplikasikan dan diterima dalam diri sebagai
sebuah nilai luhur, sehingga timbul pernyataan “ini lho saya, saya itu seperti
ini”, selanjutnya nilai tersebut melebur, melekat pada diri teman-teman. Jika misalnya
nilai-nilai tersebut dicopy dari seorang figur, lalu ‘ndilalah’ figur tersebut
tidak seperti yang disangkakan, maka nilai-nilai tersebut akan luntur. Lalu apa
yang sebaiknya dilakukan? Copylah nilai-nilai luhur yang nantinya akan
dijadikan sebagai jati diri kita dari sesuatu yang tidak akan berubah sifatnya.
Copylah nilai luhur tersebut dari Tuhan Yang Mahakuasa, yang zatnya tidak akan
berubah sampai kapan pun. Pilihlah nilai-nilai luhur yang Tuhan berikan untuk teman-teman, yang cocok dengan diri pribadi kita.
Penulis sebagai guru SLB yang mengajar PAI mengambil salah
satu contoh nilai yang dapat kita aplikasikan sebagai identitas atau jati diri manusia, yaitu Surat Al Furqan Ayat 63 dst. Ya, jati diri teman-teman adalah "'Ibadurrahman", hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang, yang memiliki sifat-sifat rendah hati, penebar keselamatan, dan seterusnya dan seterusnya (bisa dibuka sendiri, hehe). Jika hal ini telah menyatu menjadi jati diri, maka apapun yang sedang dilakoni, dijalani dalam kehidupan teman-teman, semuanya akan on the track. Karena diri sudah merasa, "ini lho saya, saya adalah hamba Tuhan Yang Maha Penyayang". Sehingga resolusi apa pun, jika kita sudah merasa memiliki jati diri yang kuat, yang baik, maka resolusi dapat langgeng dilaksanakan, dijalankan, dan meresap menjadi identitas pribadi kita. Hal tersebut tadi adalah salah satu contoh saja. Bukankah orang mengenal kita dari hal-hal yang sering kita lakukan, kita tampakkan. Apa yang sering nampak dari diri kita, itulah yang dikenali orang, dikenali alam dan dikenali kehidupan, sebagai identitas diri. Disini penulis mengorelasikan dengan sesuatu perkataan bahwa "Tuhan menyukai hambanya yang tekun melakukan sesuatu dengan istiqomah meski pun suatu hal yang simpel, sederhana tetapi rutin".
So, semoga tahun baru ini, kita semua semakin kuat jati dirinya, sehingga memberi kebaikan bagi diri sendiri, bagi orang-orang disekitar, bagi alam dan kehidupan. Teman-teman yang membuat resolusi tahun baru ini, semoga istiqomah yaaah. Sampai jumpa di tulisan iseng selanjutnya. Alhamdulillah (agz)
So, semoga tahun baru ini, kita semua semakin kuat jati dirinya, sehingga memberi kebaikan bagi diri sendiri, bagi orang-orang disekitar, bagi alam dan kehidupan. Teman-teman yang membuat resolusi tahun baru ini, semoga istiqomah yaaah. Sampai jumpa di tulisan iseng selanjutnya. Alhamdulillah (agz)
1 coment�rios :
AKU SETUJU GUS AYO KITA LAKSANAKAN RESOLUSI ITU, MEMANG KEBIASAAN TDK BOLEH KITA BIARKAN
Posting Komentar